Kritik Anak Dibungkam: Ketika Program Makan Siang Gratis Berujung Intimidasi

Apa yang terjadi ketika keluhan polos seorang anak tentang Kambing Guling makan siang gratis justru memicu reaksi kasar dari sosok berpengaruh? Program yang bertujuan mulia malah berubah menjadi sumber kontroversi. Alih-alih menjadi kesempatan untuk perbaikan, kritik tersebut justru berujung pada intimidasi yang menciptakan ketakutan untuk bersuara.

Program makan siang gratis yang diinisiasi dengan tujuan meningkatkan gizi anak-anak Indonesia awalnya diterima dengan antusias. Namun, pelaksanaannya menyisakan banyak tantangan, termasuk soal kualitas menu yang disediakan. Kritik sederhana dari seorang anak, yang jujur mengatakan bahwa ayam dalam makan siang itu tidak enak, seharusnya menjadi masukan berharga untuk evaluasi.

Namun, kritik itu dibalas secara berlebihan oleh seorang figur publik yang juga memiliki pengaruh besar di masyarakat. Dalam video yang diunggahnya, ia menyebut anak tersebut dengan kata-kata kasar seperti PE’A (goblok) dan menuduhnya tidak tahu bersyukur. Lebih jauh lagi, ia membandingkan menu makan siang gratis senilai Rp10.000 dengan nasi box mewah yang biasa ia nikmati dalam pekerjaannya. Perbandingan ini terasa tidak adil dan tidak relevan dengan kondisi anak-anak yang menjadi sasaran program.

Tidak hanya itu, video tersebut dibuat dengan cara yang terkesan intimidatif. Sosok tersebut tampil tanpa mengenakan pakaian, memamerkan otot-otot kekarnya, menciptakan kesan seolah ingin menunjukkan kekuasaan dan kekuatan fisiknya. Tindakan ini tidak hanya mempermalukan anak tersebut, tetapi juga mengirimkan pesan kepada masyarakat bahwa kritik tidak diterima dengan baik, bahkan ketika disampaikan dengan polos.

Tindakan seperti ini memiliki dampak yang serius. Anak tersebut, yang hanya menyampaikan pengalamannya, bisa kehilangan keberanian untuk berbicara jujur di masa depan. Masyarakat juga merasakan efeknya, menjadi lebih takut untuk menyampaikan pendapat atau keluhan karena khawatir akan mendapat perlakuan serupa. Dalam jangka panjang, ini dapat menciptakan budaya diam yang menghambat kemajuan dan keadilan sosial.

Sosok publik yang memiliki pengaruh seharusnya memberikan contoh tentang bagaimana kritik ditanggapi dengan kepala dingin dan empati. Kritik dari masyarakat kecil, apalagi anak-anak, adalah tanda bahwa program yang dijalankan masih membutuhkan perbaikan, bukan ancaman yang perlu dilawan.

Kritik, sekecil apa pun, adalah bentuk perhatian dan kepedulian. Jika suara anak-anak dan masyarakat kecil dibungkam oleh reaksi yang tidak proporsional, apa yang tersisa untuk masa depan bangsa kita? Indonesia membutuhkan lingkungan di mana suara rakyat didengar dan dihargai. Dengan begitu, program apa pun yang dijalankan akan benar-benar membawa manfaat bagi mereka yang paling membutuhkan.