Pagi dimulai dengan mengantar anak-anak ke sekolah, lalu kembali ke rumah luas di desa—tenang, lapang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Mobil kelas menengah terparkir rapi di halaman, melengkapi gambaran hidup yang tampak sederhana tapi serba berkecukupan. Tanpa kemacetan atau tekanan pekerjaan, hidup mengalir santai, seolah membuktikan bahwa kebahagiaan bukan soal seberapa keras kita bekerja, tapi seberapa dalam kita menikmatinya.
Saya tidak mengikuti akun ini, tapi entah bagaimana, videonya terus muncul di beranda—berulang kali. Biasanya saya cuek, tapi saat bingung mau browsing apa, sesekali saya menonton sampai selesai. Ada sesuatu dalam estetika tenang dan narasi bijaknya yang menggugah, membangkitkan bayangan tentang kehidupan yang lebih damai.
Namun, semakin lama, pola yang familiar mulai muncul. Kisah inspiratif tentang meninggalkan kesibukan, menemukan kebebasan, lalu—“Aku sudah menemukan caranya, dan kalian juga bisa! Ikut kelasnya yuk~”
Inilah titik baliknya. Dari sekadar berbagi pengalaman, kini berubah menjadi tawaran. Jika kelas ini memang memberi panduan nyata, tentu ada nilainya. Tapi pertanyaannya, apakah slow living benar-benar bisa diajarkan?
Di balik estetika damai dan kata-kata menenangkan, ada realita yang jarang disebut: slow living bukan sekadar mindset, tapi sering kali lahir dari kemapanan finansial. Tidak semua orang bisa memilih melambat—bagi banyak pekerja di Jakarta, itu bukan pilihan, melainkan kemewahan.
Jadi, apakah yang dijual benar-benar jalan menuju slow living? Atau hanya mimpi yang dikemas ulang, siap dipasarkan kepada mereka yang lelah dengan hiruk-pikuk kota?