Sejak kecil, saya selalu percaya satu hal: kalau dapat sesuatu, simpan dulu. Siapa tahu nanti butuh.

Mungkin itu sebabnya saya bukan orang yang mudah berbagi. Bukan berarti pelit, hanya… ada perasaan aneh ketika harus memberi sesuatu yang sebenarnya bisa saya simpan sendiri.
Tapi pagi ini, ada plastik rambutan dan pisang di meja.
Oh iya, sepupu istri saya mengirim ini kemarin.
Dia datang saat kami sudah pergi. Semalam kami pulang terlalu larut, jadi bungkusnya hanya diamankan tanpa sempat dibuka. Baru pagi ini, dengan kepala yang lebih segar, kami membukanya.
Begitu plastik terbuka, aroma manis pisang langsung menyeruak. Saya mengambil satu rambutan, membelah kulit merahnya yang berbulu, dan menggigit daging putihnya yang segar.
Manis.
Tapi ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat saya berhenti sejenak, menatap buah-buah itu lama.
Dulu, saya pernah mengalami hari-hari sulit. Saat ingin makan enak tapi harus menahan diri. Jadi, wajar kan kalau saya ingin menyimpan ini? Wajar kan kalau saya ingin memastikan keluarga saya dulu yang menikmatinya?
Tapi lalu, saya teringat ibu.
Dulu, setiap kali ada saudara mengirim hasil panen, ibu selalu membagi-bagikannya ke tetangga. Saya pernah protes, “Kenapa sih nggak disimpan saja? Kita kan juga butuh.”
Tapi ibu hanya tersenyum dan menjawab, “Kalau dapat rezeki, jangan lupa bagikan. Nanti ada rezeki lain yang datang.”
Saya tidak pernah benar-benar percaya.
Hari ini, suara ibu kembali terngiang di kepala saya.
Saya menarik napas, mengambil beberapa rambutan dan pisang, lalu melangkah ke rumah tetangga.
Saya mengetuk pintu dan menyerahkan plastik itu.
Mereka menerimanya dengan mata berbinar, senyum merekah. Tidak ada kata-kata panjang. Tapi ada sesuatu di sana—rasa hangat yang tak bisa dijelaskan.
Saya terdiam sejenak.
Manis.
Bukan hanya karena buahnya, tetapi karena ada sesuatu yang berubah dalam diri saya.
Mungkin ibu benar.
Berbagi bukan soal jumlah. Bukan soal ada atau tidak ada. Ini soal rasa.
Dulu, saya berpikir bahwa memberi berarti kehilangan. Tapi hari ini, saya merasa justru mendapatkan sesuatu yang lebih besar.
Saya berjalan pulang dengan langkah ringan.
Mungkin ini bukan kali terakhir saya berbagi. Mungkin lain kali, saya tak perlu berpikir dua kali.
Karena sering kali, dalam satu tangkai rambutan atau seikat pisang, terselip sesuatu yang lebih berharga—bukan sekadar buah, tapi jalinan kasih sayang yang mengikat kita dalam kebersamaan.
Dan hari ini, untuk pertama kalinya, saya benar-benar mengerti apa yang ibu maksud.
-Terima kasih Mba Maya, Mas Reza