Category: Daily

  • Manisnya berbagi

    Sejak kecil, saya selalu percaya satu hal: kalau dapat sesuatu, simpan dulu. Siapa tahu nanti butuh.

    Mungkin itu sebabnya saya bukan orang yang mudah berbagi. Bukan berarti pelit, hanya… ada perasaan aneh ketika harus memberi sesuatu yang sebenarnya bisa saya simpan sendiri.

    Tapi pagi ini, ada plastik rambutan dan pisang di meja.

    Oh iya, sepupu istri saya mengirim ini kemarin.

    Dia datang saat kami sudah pergi. Semalam kami pulang terlalu larut, jadi bungkusnya hanya diamankan tanpa sempat dibuka. Baru pagi ini, dengan kepala yang lebih segar, kami membukanya.

    Begitu plastik terbuka, aroma manis pisang langsung menyeruak. Saya mengambil satu rambutan, membelah kulit merahnya yang berbulu, dan menggigit daging putihnya yang segar.

    Manis.

    Tapi ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat saya berhenti sejenak, menatap buah-buah itu lama.

    Dulu, saya pernah mengalami hari-hari sulit. Saat ingin makan enak tapi harus menahan diri. Jadi, wajar kan kalau saya ingin menyimpan ini? Wajar kan kalau saya ingin memastikan keluarga saya dulu yang menikmatinya?

    Tapi lalu, saya teringat ibu.

    Dulu, setiap kali ada saudara mengirim hasil panen, ibu selalu membagi-bagikannya ke tetangga. Saya pernah protes, “Kenapa sih nggak disimpan saja? Kita kan juga butuh.”

    Tapi ibu hanya tersenyum dan menjawab, “Kalau dapat rezeki, jangan lupa bagikan. Nanti ada rezeki lain yang datang.”

    Saya tidak pernah benar-benar percaya.

    Hari ini, suara ibu kembali terngiang di kepala saya.

    Saya menarik napas, mengambil beberapa rambutan dan pisang, lalu melangkah ke rumah tetangga.

    Saya mengetuk pintu dan menyerahkan plastik itu.

    Mereka menerimanya dengan mata berbinar, senyum merekah. Tidak ada kata-kata panjang. Tapi ada sesuatu di sana—rasa hangat yang tak bisa dijelaskan.

    Saya terdiam sejenak.

    Manis.

    Bukan hanya karena buahnya, tetapi karena ada sesuatu yang berubah dalam diri saya.

    Mungkin ibu benar.

    Berbagi bukan soal jumlah. Bukan soal ada atau tidak ada. Ini soal rasa.

    Dulu, saya berpikir bahwa memberi berarti kehilangan. Tapi hari ini, saya merasa justru mendapatkan sesuatu yang lebih besar.

    Saya berjalan pulang dengan langkah ringan.

    Mungkin ini bukan kali terakhir saya berbagi. Mungkin lain kali, saya tak perlu berpikir dua kali.

    Karena sering kali, dalam satu tangkai rambutan atau seikat pisang, terselip sesuatu yang lebih berharga—bukan sekadar buah, tapi jalinan kasih sayang yang mengikat kita dalam kebersamaan.

    Dan hari ini, untuk pertama kalinya, saya benar-benar mengerti apa yang ibu maksud.

    -Terima kasih Mba Maya, Mas Reza

  • Gua Safarwadi: Antara Sejarah, Spiritualitas, dan Kebenaran Aqidah

    Bayangkan sejenak…

    Seorang musafir berjalan menyusuri desa Pamijahan, dikelilingi perbukitan yang hijau. Di hadapannya, mulut Gua Safarwadi terbuka, menyimpan ribuan kisah dari masa lalu. Ia pernah mendengar cerita bahwa gua ini memiliki keberkahan, bahkan ada yang mengatakan bisa tembus ke Mekkah.

    Namun, pertanyaannya adalah:
    “Apakah semua cerita ini berdasarkan kebenaran, atau hanya mitos yang berkembang?”

    Hari ini, mari kita selami sejarah, spiritualitas, dan aqidah yang benar dalam menyikapi tempat ini.

    Gua Safarwadi erat kaitannya dengan Syekh Abdul Muhyi, seorang ulama besar abad ke-17 yang menyebarkan Islam di wilayah selatan Jawa Barat. Dalam perjalanannya, beliau menemukan gua ini dan menjadikannya sebagai tempat bertafakur serta pusat pendidikan Islam.

    Di sinilah beliau mengajarkan Tarekat Syathariyah, mendirikan pesantren, dan membimbing murid-muridnya dalam mendalami ajaran Islam. Hingga hari ini, gua ini menjadi tempat ziarah yang dikunjungi banyak orang.

    Namun, seiring waktu, makna sejarah ini mulai bercampur dengan berbagai mitos yang perlu dikritisi.

    Banyak peziarah yang datang ke Gua Safarwadi bukan hanya untuk mengenang sejarah, tetapi juga karena keyakinan bahwa tempat ini memiliki keberkahan khusus.

    Tetapi mari direnungkan:
    ✅ Keberkahan dalam Islam datang dari Allah, bukan dari tempat atau benda tertentu tanpa dalil.

    “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku tidak berkuasa mendatangkan manfaat dan tidak (pula) menolak mudarat terhadap diriku, kecuali yang dikehendaki Allah’…”
    (QS. Al-A’raf: 188)

    ❌ Mengaitkan keberkahan dengan tempat tanpa dalil yang sahih bisa berbahaya.
    ❌ Jika keyakinan ini berlebihan, bisa menjurus kepada kesyirikan.

    💡 Pesan utama: Hormati sejarah, tetapi jangan sampai aqidah tergelincir.

    Salah satu cerita yang berkembang adalah bahwa Gua Safarwadi memiliki jalan tembus ke Mekkah.

    Namun, mari berpikir logis:
    ❌ Tidak ada bukti ilmiah atau geografis yang mendukung klaim ini.
    ❌ Tidak ada catatan sejarah dari ulama yang menyebutkan adanya jalur gaib ini.
    ❌ Jika benar ada, tentu sudah menjadi fenomena yang dipelajari para ahli sejak lama.

    Mengapa mitos seperti ini tetap ada?
    Karena manusia menyukai kisah luar biasa, dan sering kali menerima cerita tanpa mempertanyakannya lebih dalam.

    Namun sebagai Muslim, ajaran Islam menuntun untuk berpegang teguh pada dalil yang sahih, bukan sekadar cerita turun-temurun.

    ✅ Boleh berziarah untuk mengenang perjuangan Syekh Abdul Muhyi.
    ✅ Boleh beribadah di sana, selama tidak meyakini ada keutamaan khusus tanpa dalil.
    🚫 Jangan menjadikan tempat ini sebagai perantara keberkahan.
    🔄 Tugas utama adalah meluruskan pemahaman yang keliru dengan ilmu dan hikmah.

    📢 Rasulullah ﷺ bersabda:

    “Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama.” (HR. Muslim)

    💭 Jadi, apa yang bisa dipelajari?
    Islam mengajarkan untuk menghormati sejarah, tetapi tetap berpegang teguh pada dalil. Jangan biarkan cerita tanpa dasar menggantikan keyakinan yang bersumber dari wahyu.

    🚀 Kesimpulan:
    Saat berziarah ke tempat bersejarah, tetaplah menjadi Muslim yang cerdas, kritis, dan teguh pada aqidah yang benar. Hormati masa lalu, tetapi jangan sampai sejarah membutakan dari kebenaran.

    ✨ Sebuah Pertanyaan untuk Diri Sendiri:
    Jika suatu saat berada di Gua Safarwadi, bagaimana cara menyikapinya?

  • Dua Porsi Cukup, Semua Menang (Termasuk Negara!)

    Sabtu pagi. Saat waktunya sarapan, saya buka aplikasi Grab Grabfood. Scroll… scroll… oh, ada promo 50%! Wah, lumayan! Langsung cek restoran favorit: Warung Betawi Mpo Dina.

    http://@grabid

    Sudah langganan lama, sampai-sampai mereka sering kasih bonus bakwan goreng atau nasi ketan. Rasanya, tiap kali pesan di sana, bukan cuma makanannya yang enak, tapi juga ada feel “pelanggan istimewa” yang bikin puas. Mpo Dina ini kalau masak nggak pernah pelit bumbu, dan porsinya juga selalu royal.

    Dulu, saya selalu pesan tiga porsi sarapan untuk saya, istri, dan Athar. Rasanya wajib. Tapi anehnya, hampir selalu ada sisa. Tiap kali lihat makanan sisa yang akhirnya tidak dimakan, bukan cuma perut yang kenyang, tapi juga rasa bersalah. Akhirnya, saya coba pesan dua porsi saja. Awalnya ragu, takut kurang. Tapi ternyata cukup! Kalau masih lapar? Tinggal tambahin roti atau camilan di rumah. Lebih hemat, lebih pas, dan yang terpenting—tidak ada yang terbuang sia-sia.

    Memang, harga di aplikasi sering lebih mahal. Ada biaya layanan, ada tip untuk driver. Tapi kalau jeli, promo bisa bikin lebih murah daripada beli langsung. Saya pribadi sudah hafal strategi “diskon besar + gratis ongkir,” jadi kalau dihitung-hitung, malah lebih irit dibanding harus keluar rumah, bayar parkir, dan buang waktu di jalan.

    Yang paling bikin tenang, setiap pesanan ini bukan cuma buat saya, tapi juga bantu banyak orang. Warung Betawi Mpo Dina tetap bisa ramai pelanggan. Abang driver tetap dapat orderan dan bisa membawa pulang uang untuk keluarganya. Aplikasi yang saya gunakan setiap hari? Tetap berkembang dan membuka lebih banyak lapangan kerja.

    Tapi lebih dari itu, ada ekosistem digital yang ikut berputar setiap kali saya memesan makanan. Jaringan internet dari provider, infrastruktur cloud yang memastikan aplikasi berjalan lancar, layanan seperti Salesforce yang membantu bisnis mengelola pelanggan, hingga sistem pembayaran digital yang memproses transaksi dengan cepat—semuanya saling terhubung. Pesanan saya mungkin terlihat sederhana, tapi di balik layar, ada teknologi yang memastikan semuanya berjalan mulus.

    Dan tentu saja, saya juga ikut menyumbang negara lewat pajak transaksi. Semoga benar-benar sampai ke pembangunan dan bukan… ah, sudahlah.

    Kalau beli langsung? Pasti tetap membantu penjual. Tapi dampaknya lebih kecil dibandingkan pesan online, yang menciptakan efek domino lebih luas. Dulu saya kira tiga porsi itu wajib. Sekarang, saya tahu lebih baik. Dua porsi cukup, tetap bisa hemat, tetap mendukung bisnis lokal, dan… tentu saja, tetap jadi warga negara yang baik dengan membayar pajak. Semua menang, tanpa ada yang terbuang.

  • Perjalanan Pulang dengan TransJakarta: Ekspektasi vs. Realitas

    Saya pikir ini hanya akan jadi perjalanan pulang biasa. Ternyata, saya pulang dengan perspektif baru.

    Pengalaman Baru: Mencoba TransJakarta di Jam Sibuk

    Kemarin, setelah menyelesaikan urusan di kantor customer di sekitar Semanggi, saya memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda—naik TransJakarta. Biasanya, saya lebih memilih taksi agar praktis. Tapi kali ini, saya penasaran: seberapa efektif transportasi umum Jakarta saat ini?

    Saya menyeberangi jembatan penyebrangan dan tiba di halte TransJakarta. Saat melihat papan informasi, saya sempat bingung. Ke arah mana saya harus naik? Jurusan apa yang benar?

    Daripada tersesat, saya bertanya kepada petugas. Dengan ramah, beliau menjawab, “Naik jurusan Blok M, nanti turun di halte CSW.” Saya mengangguk, merasa lega. Tapi ini baru permulaan.

    Antrean Panjang, Tapi Tertib

    Halte penuh dengan orang-orang yang baru selesai bekerja. Antrean panjang, tapi tertib. Tidak ada dorong-dorongan, semua mengikuti aturan.

    Ketika bus tiba, saya naik bersama penumpang lain. Suasananya cukup nyaman. Tidak sumpek, tidak ricuh. Hanya suara pengumuman halte berikutnya yang terdengar melalui speaker, beberapa penumpang berbincang pelan, dan sisanya sibuk dengan ponsel mereka.

    Biasanya saya melihat Jakarta dari balik jendela taksi. Tapi kali ini, saya melihatnya bersama mereka yang mengandalkan TransJakarta setiap hari.

    Halte CSW: Megah, Modern, dan Bikin Bingung

    Begitu turun di halte CSW, saya langsung terdiam. Ini halte bus atau bandara?

    Saya melihat sekeliling. Lantai mengilap, pencahayaan terang, eskalator tinggi, dan desain modern. Megah. Tertata. Tidak seperti halte yang saya bayangkan.

    Tapi di balik kekaguman itu, saya kembali bingung. Dari sini, saya harus ke mana?

    Saya bertanya lagi kepada petugas.

    “Pak, kalau ke Ciledug, naiknya dari mana?”

    “Lantai 5, Mas.”

    “Lantai 5?” Saya sempat terdiam. Tidak menyangka halte bus bisa setinggi ini.

    Saya mengikuti arus penumpang lain yang tampaknya sudah terbiasa. Begitu sampai di lantai atas, barulah saya sadar: jalur ini sangat penting bagi begitu banyak orang.

    Antrean panjang, lebih panjang dari yang sebelumnya. Tapi tetap rapi, tanpa dorong-dorongan. Petugas sigap mengatur laju penumpang, memastikan semuanya berjalan lancar.

    Tak lama, bus datang. Saya beruntung bisa naik ke yang masih kosong. Kursi empuk, AC dingin, dan suasana di dalam cukup nyaman.

    Refleksi: Lebih dari Sekadar Perjalanan Pulang

    Perjalanan berlangsung lancar. Yang mengejutkan, waktu tempuhnya hampir sama dengan naik taksi dari Semanggi! 😲 Saya sempat mengira TransJakarta akan jauh lebih cepat, tetapi ternyata hanya berselisih sedikit.

    Namun, ada satu perbedaan besar: saya menghemat jauh lebih banyak biaya 💰, sambil mendapatkan pengalaman baru yang tak ternilai.

    Sambil duduk di dalam bus, saya merenung. Jakarta yang saya kenal ternyata terus berkembang. 🌆 Halte-halte besar dan rapi, antrean yang tertib, serta banyaknya orang yang mengandalkan TransJakarta setiap hari—semuanya membuat saya lebih menghargai bagaimana kota ini berubah.

    Saya datang dengan ekspektasi sederhana: perjalanan pulang yang praktis.

    Tapi saya pulang dengan sesuatu yang lebih berharga—pengalaman baru, perspektif baru, dan rasa kagum terhadap kota ini yang terus berkembang. 🚀

  • Ambulans: Pelayanan atau Pencitraan?

    Bayangkan ini: Anda sedang dalam perjalanan pulang setelah seharian bekerja, saat tiba-tiba Anda melihat sebuah ambulans terparkir di pinggir jalan yang ramai. Bukan di depan rumah sakit atau lokasi yang membutuhkan pertolongan darurat, tapi hanya terparkir begitu saja, seolah menunggu sesuatu. Apa yang lebih mencolok daripada lampu sirene yang mati adalah foto besar seorang pemimpin lembaga yang terpampang di sisi ambulans tersebut. Anda melamun, bertanya-tanya, “Apakah ambulans ini datang untuk menyelamatkan nyawa, atau hanya untuk menunjukkan wajah seseorang?” 😟

    Ambulans adalah simbol harapan dalam situasi darurat—kendaraan yang bergerak cepat untuk menyelamatkan nyawa. Namun, ada pertanyaan yang mengganggu: apakah tujuan utama ambulans kita adalah pelayanan atau pencitraan? 🤔

    Hal ini terjadi di banyak tempat. Misalnya, di negara-negara maju seperti Inggris dan Jerman, ambulans dioperasikan oleh layanan kesehatan publik yang mengikuti standar ketat. Salah satunya adalah larangan penggunaan kendaraan darurat untuk kepentingan pribadi atau promosi individu. Di National Health Service (NHS) Inggris, ambulans tidak boleh digunakan untuk branding pribadi, karena hal ini bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap netralitas dan transparansi layanan. 🔒

    Menurut World Health Organization (WHO) dan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC), ambulans harus beroperasi dengan prinsip independensi dan imparsialitas—artinya, kendaraan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik, komersial, atau pribadi. Ambulans harus tetap netral, memastikan bahwa bantuan diberikan tanpa memandang siapa yang terlibat dalam penyediaannya. ⚖️

    Meskipun branding pada ambulans bisa menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan kesadaran atau menggalang dana, ketika terlalu banyak fokus pada individu daripada pada misi utama, kita mulai bertanya apakah ambulans masih memenuhi tujuannya yang sejati. Ambulans seharusnya dikenal karena kecepatannya dalam bertindak, bukan karena wajah pemimpin lembaga yang terpampang di badan kendaraan. 🏥💨

    Kembali pada cerita tadi: Bayangkan jika ambulans yang terparkir itu benar-benar dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa. Bukankah lebih penting untuk melihatnya bergerak cepat, dengan fokus pada misi penyelamatan, daripada terpaku pada wajah seseorang? 🚑💔 Ambulans adalah simbol penyelamatan, bukan iklan berjalan.

    Transparansi dalam pelayanan kesehatan bukan hanya tentang siapa yang menyediakannya, tetapi juga tentang bagaimana layanan itu diberikan secara adil dan tanpa bias. Negara-negara dengan sistem layanan kesehatan maju memastikan ambulans tetap netral, mengikuti standar etika yang ketat. Jika negara lain dapat menjaga netralitas ambulans, mengapa kita masih melihatnya sebagai alat pencitraan pribadi? 🤷‍♂️

    Pada akhirnya, ambulans bukan papan iklan. Ia ada untuk satu tujuan: menyelamatkan nyawa. Kita perlu bertanya, apakah kita ingin melihat ambulans sebagai penyelamat, atau sekadar alat pencitraan? 💭

  • Drama War Gas: Dari Detik-Detik Menegangkan Hingga Solusi yang Tak Terduga!

    Pagi tadi, saya berharap bisa menikmati hari yang tenang—penuh harapan tanpa gangguan. Tapi setelah meeting pertama di pagi hari selesai, saya mendapati istri saya yang baru saja memesan gas karena tabung gas habis saat dia ingin memasak.

    Begitu saya membuka pintu, saya langsung disambut oleh bau gas yang tajam dan suara desisan pelan. Hati saya langsung berdebar, dan saya tahu ada yang tidak beres. “Gas bocor!” pikir saya. Rasanya dada saya seperti terhimpit, dan ketegangan mulai memuncak. Saya buru-buru mengganti tabung gas, tapi semakin lama suara desis itu semakin keras. Kalau tidak segera ditangani, bahaya bisa datang kapan saja.

    Dengan cepat saya bawa tabung gas yang bocor keluar rumah, mencoba menghindari hal-hal buruk yang bisa terjadi. Selama itu, saya berpikir, “Haruskah saya telepon pemadam kebakaran? Polisi? Atau… panggil Batman?”

    Segera saya kirim pesan ke grup RT agar tidak ada yang bingung mendengar suara desisan dari rumah saya. Salah satu tetangga langsung memberikan kontak toko gas langgananhya. Saya langsung menghubungi toko tersebut, dan mereka menjanjikan pengantaran gas pada sore hari.

    Saat kurir dari toko referensi tetangga tiba sore hari, beliau langsung memeriksa tabung gas dan menyarankan untuk mengganti regulator dengan yang merek WIN. Katanya, regulator ini bisa bertahan sampai 20 tahun, sesuai pengalamannya. Saya langsung setuju, saya OTW ke warung listrik dekat rumah dan berharap ini bisa menjadi solusi terbaik untuk ke depannya.

    Kurir tersebut juga mengingatkan untuk klaim ke agen atas tabung gas yang bocor melalui toko langganan saya yang mengantar gas pagi tadi. Siapa sangka, ternyata gas bocor bisa diklaim!

    Saya pun menunggu dengan cemas, namun hanya dalam waktu satu jam, kurir dari toko yang saya oesan di pagi hari itu kembali dengan tabung gas baru yang siap dipasangkan ke regulator WIN yang baru. Pas banget! Rasanya seperti menang giveaway, tapi yang bikin deg-degan dulu!

    Ternyata, gas bocor bisa diklaim, dan regulator WIN (seri WIN 900) ini memang berkualitas. Pasang regulator ke selangnya gampang, pasang Regulator ke Tabung gas jadi gampang banget.

    Jadi, kalau mengalami masalah mirip, saran saya, beli regulator WIN 900 ini sekarang juga.
    Di toko dekat rumah, yang menurut saya harya di tokonya udah murah banget dibanding yang lain, saya beli seharga 135 ribu, tapi di Tokopedia harganya hanya sekitar 100 ribu-an. Selisih 35 ribu lumayan kan? Ini link Tokped-nya, yuk cek dan pastikan rumah tetap aman dari masalah gas bocor!

    Bisa cek di Tiktokshop atau Tokopedia

    https://vt.tokopedia.com/t/ZS6EXyLac/
  • Perjalanan Majalengka ke Tangerang Selatan Bersama Keluarga: Menghemat Waktu dengan Teknologi

    Setelah beberapa hari di Majalengka mengunjungi Arkan, saya dan keluarga melanjutkan perjalanan pulang ke Tangerang Selatan. Perjalanan panjang yang dulunya penuh dengan waktu yang terbuang kini terasa jauh lebih efisien berkat teknologi.

    Begitu mendekati rest area, saya langsung memesan makanan lewat aplikasi. Tak perlu lagi mengantri lama, makanan sudah siap begitu kami tiba. Dengan teknologi, saya bisa mengatur waktu kedatangan supaya pas dengan waktu sholat, jadi bisa beristirahat dengan tenang. Setelah selesai sholat, tinggal ambil pesanan dan melanjutkan perjalanan tanpa menunggu lama.

    Meski pengisian bensin masih membutuhkan antrian, itu tidak mengurangi kenyamanan kami. Waktu yang dulunya terbuang hanya untuk mencari makanan dan camilan kini bisa dimanfaatkan lebih baik. Kopi hangat yang sudah dipesan sebelumnya dan camilan favorit sudah menunggu, membuat perjalanan terasa lebih menyenangkan.

    Dulu, waktu yang saya habiskan di rest area seringkali terasa sia-sia. Tapi sekarang, berkat aplikasi yang memungkinkan pemesanan makanan dan pengaturan waktu yang lebih efisien, saya bisa lebih menikmati waktu bersama keluarga—baik itu saat istirahat atau sekadar berbincang di perjalanan.

    Perjalanan pulang ke Tangerang Selatan kini terasa lebih nyaman dan produktif, memberi saya lebih banyak waktu untuk menikmati kebersamaan dengan keluarga setelah perjalanan panjang ini.

    Pernahkah merasa waktu terasa terbuang saat perjalanan jauh? Teknologi seperti apa yang membantu perjalanan menjadi lebih efisien? Share pengalaman perjalanan seru, atau tips supaya perjalanan jadi lebih menyenangkan di kolom komentar!

  • Hidup tetap berjalan, meski tak lagi sama

    Pernah merasa segalanya berjalan seperti biasa, tapi di dalam hati ada sesuatu yang berubah? Orang-orang tetap menjalani hidup mereka, berbicara, tertawa, seolah tidak ada yang terjadi. Tapi bagi sebagian orang, ada kehilangan yang masih terasa, ada ruang kosong yang sulit dijelaskan.

    Di permukaan, semuanya terlihat normal. Rutinitas tetap berjalan, pekerjaan tetap harus diselesaikan, obrolan dengan teman tetap terjadi. Tapi ada momen-momen kecil yang tiba-tiba mengingatkan—meja yang dulu tidak pernah kosong, lagu yang pernah punya makna, atau sekadar aroma kopi yang membawa kembali kenangan.

    Kehilangan tidak selalu datang dengan cara yang dramatis. Kadang, itu terjadi perlahan. Tahu-tahu, seseorang yang dulu selalu ada kini tidak lagi di sana. Orang lain mungkin mengatakan, “Nanti juga lupa,” atau, “Waktu akan menyembuhkan.” Tapi kalau memang begitu, kenapa rasa itu masih ada? Kenapa ada hari-hari di mana kenangan terasa lebih nyata dari sekarang?

    Tersenyum bukan berarti baik-baik saja. Kadang, lebih mudah mengatakan “nggak apa-apa” daripada menjelaskan apa yang sebenarnya dirasakan. Tapi berpura-pura terus-menerus juga melelahkan.

    Pada akhirnya, mungkin yang dibutuhkan bukan melupakan, tapi menerima. Belajar menjalani hari tanpa terus bertanya, “Kenapa harus terjadi?” atau “Kenapa nggak bisa seperti dulu lagi?” Hidup tetap berjalan, meskipun rasanya berbeda. Dan mungkin, langkah kecil yang bisa dilakukan hari ini adalah sederhana: duduk, menikmati secangkir kopi, dan memberi waktu untuk diri sendiri.

    Yuk ngopi.

    📍Tigadelapan Tigadelapan.mjk

  • Lari Tanpa Penampilan, Cuma Tekad yang Menentukan

    Jogging Track Bintaro Boulevard adalah oase bagi pelari low budget. Cukup bawa kaos bekas, sepatu seadanya, dan tekad—di sini, semua orang bisa jadi atlet versi mereka sendiri.

    Setiap kali kaki menyentuh aspal Jogging Track Bintaro Boulevard, rasanya seperti memasuki panggung freestyle. Di sini, saya belajar menikmati proses: langkah demi langkah, napas yang teratur, dan ritme jantung yang makin cepat. Udara pagi yang segar, gemerisik knalpot kendaraan lalu lalang 🫣, dan sapaan hangat dari abang-abang penjual air mineral keliling: “Yang biasa, Pak?” Semua itu menjadikan lari pagi sebagai momen yang dinanti.

    Suatu pagi, saya melihat seorang pria mengenakan kaos oblong berlubang di ketek, celana training pudar, dan topi anyaman. Persis gaya Forrest Gump-nya Junior Zamora di foto marathon Lima 42k. “Lari, Bang, lari! Ntar kalah sama tukang nasi uduk lewat!” goda seorang ojol yang lagi parkir. Si bapak cuma melambai, lalu terus melesat. Saya hanya bisa terdiam. Di sini, Jogging Track bukan cuma tempat bakar kalori—tapi juga bukti bahwa olahraga itu demokratis. Mau pakai outfit kayak artis gym atau kayak kuli bangunan—yang penting keringat mengalir.

    Junior Zamora di Peru pakai kemeja kotak-kotak buat smash maraton. Di sini? Sandal jepit dan topi caping pun bisa jadi gear wajib buat ngejar angin pagi!

    Lari di sini terasa seperti terapi. Saya sendiri pakai kaos bekas webinar kantor dan celana pendek lewat dengkul yang sudah pudar warnanya. Tapi setelah melihat Junior Zamora di foto itu—pria yang mengenakan kostum sederhana tapi bisa inspirasi ribuan orang—saya semakin yakin: kesehatan nggak perlu mahal.

    Buat yang bilang, “Jogging Track itu monoton,” coba datang pagi-pagi. Lihat anak SMA pakai jaket alumni lari sambil nge-gas seperti di TikTok, atau kakek-kakek pakai sarung joget ala-ala Lambada sambil jalan. Di sini, setiap langkah itu cerita. Dan cerita yang paling keren? Bukan yang pakai sepatu termahal, tapi yang konsisten datang tiap minggu—dengan apa adanya.

    Seperti Junior Zamora yang buktikan bahwa kostum bukan halangan, Jogging Track Bintaro Boulevard pun mengajarkan hal yang sama: Lari itu soal konsistensi, bukan penampilan. Mau kaos oblong kusam atau celana jadul—asal masih bisa dipakai untuk ngacir, itu sudah cukup.

    Jadi, buat apa nunggu beli gear baru? Ambil kaos di gantungan, ikat tali sepatu, dan gaskeun ke Jogging Track. Soalnya, di sini—seperti di Peru—setiap pelari dihargai bukan karena outfit-nya, tapi karena langkahnya yang nggak pernah berhenti.

    Lari aja dulu. Urusan beli baju baru, nanti kalau sudah lebaran. 🏃♂️🌿

  • Bayar Rp530 Ribu untuk 5 Tahun! Tapi Harus CASH, No QRIS, No Transfer!

    Baru saja selesai perpanjang SIM A dan C, dan pengalaman ini cukup bikin mikir. Total biayanya Rp510.000 untuk perpanjangan SIM A dan C serta fotokopi dokumen. Kalau mau pasang antigores, ada tambahan Rp10.000 per SIM, jadi totalnya Rp530.000.

    Yang bikin menarik (atau merepotkan) adalah metode pembayarannya. Harus cash! Tidak bisa pakai transfer, QRIS, atau kartu debit. Mau nyicil atau ngutang? Jangan harap! Di era digital seperti sekarang, masih ada layanan publik yang mengandalkan uang tunai sepenuhnya.

    Padahal, perpanjangan SIM ini wajib dan berulang setiap 5 tahun. Seharusnya ada opsi pembayaran yang lebih modern dan fleksibel. Tapi inilah realita yang masih harus dihadapi. Jadi, sebelum berangkat ke tempat perpanjangan SIM, lebih baik memastikan uang tunai sudah siap supaya tidak kerepotan saat di loket pembayaran.

    Memiliki SIM yang valid bukan sekadar formalitas, tetapi juga perlindungan diri sendiri. Sesuai Pasal 77 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, setiap pengemudi kendaraan bermotor wajib memiliki SIM yang masih berlaku. Jika tidak, siap-siap menghadapi konsekuensi:

    🚔 Denda hingga Rp1 juta atau kurungan maksimal 4 bulan (Pasal 281 UU No. 22 Tahun 2009).

    🚘 Asuransi bisa menolak klaim kecelakaan jika SIM tidak berlaku.

    😰 Ketidaknyamanan di jalan karena selalu was-was saat ada razia.

    Di layanan SIM Keliling, ada beberapa biaya tambahan yang perlu diperhitungkan:

    💰 Perpanjangan SIM A & C + Fotokopi: Rp510.000

    🔖 Antigores (opsional): Rp10.000 per SIM

    💵 Metode pembayaran: HARUS CASH!

    Sebagian orang merasa biaya dan proses perpanjangan SIM masih memberatkan, terutama karena tidak adanya opsi pembayaran digital. Di banyak negara, sistem perpanjangan SIM sudah bisa dilakukan online atau otomatis. Ada juga wacana SIM berlaku seumur hidup untuk mengurangi beban administrasi masyarakat (cnnindonesia.com).

    Namun, pemerintah beralasan bahwa perpanjangan setiap 5 tahun penting untuk memastikan pengemudi tetap memenuhi syarat kesehatan dan kompetensi berkendara. Selain itu, perpanjangan SIM juga menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk infrastruktur dan layanan lalu lintas.

    Membayar Rp530.000 untuk perpanjangan SIM dan antigores selama 5 tahun berarti hanya sekitar Rp106.000 per tahun, atau kurang dari Rp9.000 per bulan. Memang kecil dibanding manfaatnya, tapi tetap saja, seharusnya sistem pembayaran bisa lebih fleksibel.

    Jadi, sebelum perpanjang SIM:

    🔹 Siapkan uang tunai yang cukup!

    🔹 Jangan harap bisa bayar pakai QRIS, transfer, atau kartu!

    🔹 Pikirkan baik-baik, perlu antigores atau tidak?

    Punya pengalaman yang sama atau ada cerita menarik soal perpanjangan SIM? Silakan berbagi!

    📜 Sumber: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan