Category: Services

  • Dua Porsi Cukup, Semua Menang (Termasuk Negara!)

    Sabtu pagi. Saat waktunya sarapan, saya buka aplikasi Grab Grabfood. Scroll… scroll… oh, ada promo 50%! Wah, lumayan! Langsung cek restoran favorit: Warung Betawi Mpo Dina.

    http://@grabid

    Sudah langganan lama, sampai-sampai mereka sering kasih bonus bakwan goreng atau nasi ketan. Rasanya, tiap kali pesan di sana, bukan cuma makanannya yang enak, tapi juga ada feel “pelanggan istimewa” yang bikin puas. Mpo Dina ini kalau masak nggak pernah pelit bumbu, dan porsinya juga selalu royal.

    Dulu, saya selalu pesan tiga porsi sarapan untuk saya, istri, dan Athar. Rasanya wajib. Tapi anehnya, hampir selalu ada sisa. Tiap kali lihat makanan sisa yang akhirnya tidak dimakan, bukan cuma perut yang kenyang, tapi juga rasa bersalah. Akhirnya, saya coba pesan dua porsi saja. Awalnya ragu, takut kurang. Tapi ternyata cukup! Kalau masih lapar? Tinggal tambahin roti atau camilan di rumah. Lebih hemat, lebih pas, dan yang terpenting—tidak ada yang terbuang sia-sia.

    Memang, harga di aplikasi sering lebih mahal. Ada biaya layanan, ada tip untuk driver. Tapi kalau jeli, promo bisa bikin lebih murah daripada beli langsung. Saya pribadi sudah hafal strategi “diskon besar + gratis ongkir,” jadi kalau dihitung-hitung, malah lebih irit dibanding harus keluar rumah, bayar parkir, dan buang waktu di jalan.

    Yang paling bikin tenang, setiap pesanan ini bukan cuma buat saya, tapi juga bantu banyak orang. Warung Betawi Mpo Dina tetap bisa ramai pelanggan. Abang driver tetap dapat orderan dan bisa membawa pulang uang untuk keluarganya. Aplikasi yang saya gunakan setiap hari? Tetap berkembang dan membuka lebih banyak lapangan kerja.

    Tapi lebih dari itu, ada ekosistem digital yang ikut berputar setiap kali saya memesan makanan. Jaringan internet dari provider, infrastruktur cloud yang memastikan aplikasi berjalan lancar, layanan seperti Salesforce yang membantu bisnis mengelola pelanggan, hingga sistem pembayaran digital yang memproses transaksi dengan cepat—semuanya saling terhubung. Pesanan saya mungkin terlihat sederhana, tapi di balik layar, ada teknologi yang memastikan semuanya berjalan mulus.

    Dan tentu saja, saya juga ikut menyumbang negara lewat pajak transaksi. Semoga benar-benar sampai ke pembangunan dan bukan… ah, sudahlah.

    Kalau beli langsung? Pasti tetap membantu penjual. Tapi dampaknya lebih kecil dibandingkan pesan online, yang menciptakan efek domino lebih luas. Dulu saya kira tiga porsi itu wajib. Sekarang, saya tahu lebih baik. Dua porsi cukup, tetap bisa hemat, tetap mendukung bisnis lokal, dan… tentu saja, tetap jadi warga negara yang baik dengan membayar pajak. Semua menang, tanpa ada yang terbuang.

  • Saat Konsultan Sibuk Bicara, Masalah Customer Tetap Terabaikan

    Kok ini tidak ada hubungannya sama masalah kita?” Kalimat itu terdengar lirih di tengah presentasi, tapi cukup keras untuk membuat seluruh ruangan terasa canggung. Konsultan yang sedang memaparkan strategi besar tampak sedikit terganggu. Namun, alih-alih memperbaiki pendekatan atau memberikan penjelasan yang lebih jelas, mereka hanya melanjutkan ke slide berikutnya—lebih banyak jargon, lebih banyak grafik, tapi tetap tidak ada solusi.

    Padahal, customer datang ke sesi tersebut dengan harapan besar. Mereka menghadapi tantangan nyata: sistem yang sudah mulai usang, proses yang tidak efisien, dan tekanan dari kompetitor yang terus berinovasi. Mereka tidak mencari teori besar atau presentasi mewah; mereka membutuhkan langkah konkret, solusi yang relevan, dan dapat langsung diterapkan. Namun, yang mereka terima hanyalah materi yang terasa seperti seminar—jauh dari jawaban yang diperlukan untuk menghadapi situasi mendesak ini.

    Kesenjangan mulai terasa bahkan sejak pertemuan pertama. Bukannya mendalami masalah spesifik yang dihadapi customer, konsultan justru berbicara panjang lebar tentang tren global dan strategi umum. Presentasi mereka penuh istilah teknis dan analisis pasar yang memukau, tetapi semakin lama, semakin jelas bahwa inti masalah customer tidak disentuh.

    Ketidaknyamanan mulai merayap di ruangan. Beberapa anggota tim customer saling bertukar pandang, seolah memastikan bahwa mereka semua mendengar hal yang sama: presentasi ini tidak menjawab kebutuhan mereka.

    Puncak kebingungan terjadi ketika salah satu anggota tim customer memberanikan diri bertanya, “Bagaimana solusi ini bisa diterapkan dengan kondisi kami sekarang?” Jawabannya? Berputar-putar, penuh teori, dan sama sekali tidak konkret. “Pada dasarnya, strategi ini dirancang untuk bersifat adaptif…”—begitu salah satu bagian jawaban mereka, tetapi tetap tidak ada arah yang jelas.

    Kekecewaan semakin terasa ketika dokumen strategi akhirnya diserahkan. Rekomendasi yang tertulis di dalamnya memang terdengar meyakinkan di atas kertas, tetapi tidak realistis untuk diterapkan. Beberapa saran bahkan bertentangan dengan proses inti operasional mereka. Salah satu rekomendasi, jika dipaksakan, berpotensi menimbulkan risiko besar bagi keberlangsungan rantai pasokan mereka.

    Frustrasi memuncak. Customer menyadari bahwa mereka telah kehilangan waktu, sumber daya, dan kepercayaan pada konsultan yang diharapkan menjadi mitra strategis. Akhirnya, pekerjaan tersebut dialihkan ke tim internal mereka, yang dengan susah payah harus mengerjakan ulang strategi dari nol—dengan tekanan waktu yang semakin mendesak.

    Pengalaman pahit ini memberikan pelajaran penting: konsultan terbaik bukanlah yang paling fasih berbicara, tetapi mereka yang benar-benar memahami kebutuhan customer. Mereka yang mampu menggali akar masalah dan memberikan solusi yang relevan, sederhana, dan bisa dieksekusi.

    Pada akhirnya, customer akan menyadari bahwa presentasi megah dan jargon canggih tidak berarti apa-apa tanpa pemahaman mendalam. Solusi terbaik bukan datang dari teori yang rumit, melainkan dari komunikasi yang jelas, pemahaman yang mendalam, dan strategi yang relevan dengan realitas bisnis.

    “Karena customer tidak butuh teori—mereka butuh solusi yang benar-benar bekerja.”

  • Kritik Anak Dibungkam: Ketika Program Makan Siang Gratis Berujung Intimidasi

    Apa yang terjadi ketika keluhan polos seorang anak tentang Kambing Guling makan siang gratis justru memicu reaksi kasar dari sosok berpengaruh? Program yang bertujuan mulia malah berubah menjadi sumber kontroversi. Alih-alih menjadi kesempatan untuk perbaikan, kritik tersebut justru berujung pada intimidasi yang menciptakan ketakutan untuk bersuara.

    Program makan siang gratis yang diinisiasi dengan tujuan meningkatkan gizi anak-anak Indonesia awalnya diterima dengan antusias. Namun, pelaksanaannya menyisakan banyak tantangan, termasuk soal kualitas menu yang disediakan. Kritik sederhana dari seorang anak, yang jujur mengatakan bahwa ayam dalam makan siang itu tidak enak, seharusnya menjadi masukan berharga untuk evaluasi.

    Namun, kritik itu dibalas secara berlebihan oleh seorang figur publik yang juga memiliki pengaruh besar di masyarakat. Dalam video yang diunggahnya, ia menyebut anak tersebut dengan kata-kata kasar seperti PE’A (goblok) dan menuduhnya tidak tahu bersyukur. Lebih jauh lagi, ia membandingkan menu makan siang gratis senilai Rp10.000 dengan nasi box mewah yang biasa ia nikmati dalam pekerjaannya. Perbandingan ini terasa tidak adil dan tidak relevan dengan kondisi anak-anak yang menjadi sasaran program.

    Tidak hanya itu, video tersebut dibuat dengan cara yang terkesan intimidatif. Sosok tersebut tampil tanpa mengenakan pakaian, memamerkan otot-otot kekarnya, menciptakan kesan seolah ingin menunjukkan kekuasaan dan kekuatan fisiknya. Tindakan ini tidak hanya mempermalukan anak tersebut, tetapi juga mengirimkan pesan kepada masyarakat bahwa kritik tidak diterima dengan baik, bahkan ketika disampaikan dengan polos.

    Tindakan seperti ini memiliki dampak yang serius. Anak tersebut, yang hanya menyampaikan pengalamannya, bisa kehilangan keberanian untuk berbicara jujur di masa depan. Masyarakat juga merasakan efeknya, menjadi lebih takut untuk menyampaikan pendapat atau keluhan karena khawatir akan mendapat perlakuan serupa. Dalam jangka panjang, ini dapat menciptakan budaya diam yang menghambat kemajuan dan keadilan sosial.

    Sosok publik yang memiliki pengaruh seharusnya memberikan contoh tentang bagaimana kritik ditanggapi dengan kepala dingin dan empati. Kritik dari masyarakat kecil, apalagi anak-anak, adalah tanda bahwa program yang dijalankan masih membutuhkan perbaikan, bukan ancaman yang perlu dilawan.

    Kritik, sekecil apa pun, adalah bentuk perhatian dan kepedulian. Jika suara anak-anak dan masyarakat kecil dibungkam oleh reaksi yang tidak proporsional, apa yang tersisa untuk masa depan bangsa kita? Indonesia membutuhkan lingkungan di mana suara rakyat didengar dan dihargai. Dengan begitu, program apa pun yang dijalankan akan benar-benar membawa manfaat bagi mereka yang paling membutuhkan.

  • Kembali ke Warung Kopi Mat Hijau: Ketika Pelayanan Lebih dari Sekadar Kopi

    Saya masih ingat betul ketika saya kembali ke Warung Kopi Mat Hijau setelah lebih dari satu bulan tidak mampir. Begitu saya melangkah masuk, pelayan yang berada di sana langsung memanggil nama saya dengan ramah, bahkan tanpa perlu bertanya. Saya pun terkejut karena dia juga mengingat pesanan favorit saya, meskipun saya belum pernah memberikan informasi apapun sebelumnya. Ini benar-benar membuat saya terkesan.

    Suasana di Warung Kopi Mat Hijau begitu nyaman, tidak terlalu bising, sehingga saya bisa menikmati kopi sambil bekerja atau sekedar bersantai. Gerainya dilengkapi dengan CCTV di beberapa titik, memberi rasa aman bagi pelanggan. Fasilitas wifi gratis yang stabil juga membuat tempat ini cocok untuk para pekerja atau mahasiswa. Toilet yang cukup bersih menambah kenyamanan, menjadikan pengalaman saya semakin menyenangkan.

    Saya sangat menghargai manajemen Warung Kopi Mat Hijau yang telah menetapkan standar pelayanan tinggi dengan perhatian terhadap setiap detail. Mereka berhasil menciptakan pengalaman pelanggan yang sangat pribadi dan konsisten, bahkan tanpa bergantung pada teknologi tingkat tinggi. Warung Kopi Mat Hijau adalah contoh sukses bagaimana sikap personal yang tulus dapat membangun loyalitas pelanggan yang luar biasa.

    Saya benar-benar mengapresiasi manajemen Warung Kopi Mat Hijau yang telah menciptakan standar pelayanan tinggi dengan perhatian terhadap detail. Mereka mampu menciptakan pengalaman pelanggan yang sangat personal dan konsisten, bahkan tanpa mengandalkan teknologi canggih. Warung Kopi Mat Hijau adalah contoh sukses bagaimana pendekatan personal yang tulus dapat membangun loyalitas pelanggan yang luar biasa.